Ada Apa dengan Banjir?

Banjir lagi banjir lagi ?!! kata tersebut tak akan mungkin terucap manakala bencana banjir tidak menjadi ‘rutinitas’ atau agenda tahunan warga Jakarta dan sekitarnya. Banjir telah menjadi ‘tamu undangan’ yang rutin ‘mengunjungi’ ibu kota. Kenapa ‘bapak banjir’ ini sering berkunjung ke ibu kota negara yang sedang gundah gulana ini. Kenapa tidak ke negara-negara maju, seperti negara di Eropa? Ada apa dengan banjir? Sebenarnya siapa yang mengundang datangnya banjir? Kita atau alam?

Bila kita perhatikan kondisi geografis ibu kota (Jakarta), memang cocok untuk dijadikan tempat persinggahan banjir. Tapi, bukankah ada tempat yang lebih potensial lagi untuk terjadi banjir. Pandanglah negeri kincir angin yang ketinggian daratannya juga berada di bawah permukaan laut. Tapi, apakah di sana banjir menjadi rutinitas? Tidak! Bahkan hampir dikatakan tidak pernah banjir.

Beberapa hal yang menyebebkan di ibu kota yaitu adanya prilaku tak peduli lingkungan yang dilakukan oleh warga setempat, instansi, dan perusahaan; tidak adanya aturan yang dilaksanakan secara komprehensif dan tegas seputar masalah tata dan pola hidup bersih, kurang canggihnya sarana dan prasarana pencegah banjir; persiapan menghadapi kemungkinan datangnya banjir masih lambat dan tidak optimal, , dan tak adanya system dan badan pelaksana yang mengatur masalah ini secara mendalam dan visioner.

Membuang sampah sembarangan di jalanan dan di selokan merupakan perilaku utama yang menyebabkan bencana banjir ini terjadi. Membuang sampah sembarangan oleh sebagian orang di anggap hal sepele dan kecil, padahal perbuatan tersebut akan membawa ’efek bola salju’ yang mengakumulasi bencana kecil menjadi tumpukan bencana yang besar seperti banjir yang terjadi di Jakarta. Janganlah menganggap membuang sebuah plastik ke jalan atau sungai tidak akan menimbulkan banjir yang membahayakan. Coba bayangkan jika hal ini dilakukan oleh ribuan masyarakat! Bagaiamana keadaan aliran sungai ? Aliran sungai tehambat, kedalaman sungai berkurang karena tumpukan sampah. Jika hujan deras dan berkelanjutan terjadi, fungsi sungai sebagai saluran pembuangan berubah menjadi saluran penampungan. Air pun meluap dan terjadilah banjir.

Aturan yang mengatur tentang pola hidup bersih pun belum dilaksanakan secara serius dan mendalam. Aturan seputar kebersihan hanya dibuat sebagai formalitas belaka tanpa ada tindak lanjut secara terstruktur dan konsisten. Sosialisasi dan penegakkan akan denda atau hukuman atas pelangaran aturan ini pun masih kurang. Pernahkah anda melihat orang yang membuang sampah plastik di denda di negara ini? Coba bayangkan bila orang yang membuag tadi didenda atau dihukum? Mungkin tak akan ada satu orang pun yang berani membuang sampah sembarangan. Pemerintah hendaknya membuat aturan setegas ini walaupun hanya mencangkup hal yang dianggap kecil. Karena dari hal yang kecillah, efek yang besar akan muncul. Bagaimana kota itu akan bersih, rapi, dan berbunga bila ada saja segelintir orang yang membuang sampah dengan seenaknya?

Aturan yang baik adalah aturan yang komprehensif menangani masalah mulai dari tingkat yang terkecil sampai yang terbesar. Aturan kebersihan saat ini terkesan hanya mencangkup masalah yang besar tapi mengabaikan masalah yang dianggap kecil. Contoh, membuang sampah sembarangan di jalan atau di sungai terabaikan dengan kasus pembuangan limbah oleh pabrik. Seolah-olah efek dari membuang sampah yang kecil tak lebih berbahaya dari efek membuang limbah.

Oleh karena itu, untuk ke depannya pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat RT hendaknya membuat program ’anti sampah’ yang didukung dengan peraturan atau undang-undang. Perusahaan, instansi, kelompok bahkan sampai individu yang terlihat membuang sampah sembarangan harus dikenakan sanksi tegas berupa denda dan atau hukuman. Program ini hendaknya diawali dengan sosialisai kepada masyarakat disertai dengan penyuluhan tentang kiat hidup bersih dan bebas dari sampah mulai dari lingkungan kantor pemerintahan atau instansi, masyarakat, lingkungan pendidikan, sampai tingkat keluarga.

Kurangnya sarana dan prasarana canggih pencegah banjir juga perlu mendapat perhatian. Di indonesia, kanal pencegah banjir masih sedikit dan kurang canggih. Bukankah bencana banjir sudah menjadi ’agenda’ tahunan ibu kota? Kenapa pembangunan kanal banjir tak dilakukan secara sigap dan serius? Kenapa proyek banjir kanal timur masih terlunta-lunta? Pemerintah hendaknya bertindak cepat dan penuh visioner dalam menjalankan prokernya. Bentuklah kerja sama dengan pihak akademisi yang ahli dalam konstruksi bangunan sehingga tercipta sarana pencegah banjir yang canggih.

Persiapan menghadapi kemungkinan datangnya banjir masih lambat dan tidak optimal. Banjir beberapa hari yang lalu selain menelan korban biaya dan tenaga, juga menelan korban nyawa. Bayangkan betapa besar kerugian materi yang malanda masyarakat korban banjir. Aktivitas produktif warga terhambat, transportasi terganggu, aliran informasi tak terhubung lancar, dan perekonomian lumpuh merupakan efek ketidakcekatan pemerintah dalam menangan masalah banjir. Tidak sedikit korban banjir yang mengeluh karena terlambatnya bantuan dari pemerintah. Kalaulah pemerintah membuat program persiapan menghadapi bencana banjir secara penuh dan matang, niscaya keluhan dari warga pun tak akan terucap. Persiapan menghadapi banjir meliputi alat pangangkut (perahu), sandang, pangan, papan, alat medis sampai kebutuhan pribadi hendaknya termuat dalam proker pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah. Semuanya harus terencana sampai masalah mendetail. Untuk itu perlulah dibuat suatu KPB (Komisi Penanganan Banjir) yang khusus mengurus hal ini nulai dari segi teknis pembangunan sarana dan prasarana pencegah banjir sampai teknis penanganan para korban banjir.

KPB juga hendaknya bekerja sama dengan pakar tata kota untuk merekonstruksi sungai dan wilayah pinggirannya di Jakarta atau kota besar lainnya menjadi arena pariwisata dan transportasi. Dengan ini diharapkan upaya pembersihan dan pemeliharaan sungai dapat terlaksana dan terjaga secara berkelanjutan. Program ini pun sangat berguna untuk menambah keindahan kota dan menambah kas negara dari retribusi atas penggunaan fasilitas yeng tersedia (misalkan perahu, taman indah sekitar sungai, dsb). Tentu untuk melaksanakan hal ini, perlu dikaji kembali tentang penanganan masalah penduduk yang sudah bertahun-tahun tinggal di pinggiran sungai di kota-kota besar.

Semua langkah penanganan banjir di atas tak akan berarti manakala tak adanya tindak lanjut yang serius dan konkrit dari semua elemen. Oleh karena itu sangatlah perlu dibentuk suatu sistem kerja sama antara pemerintah, para akademisi, perusahaan terkait serta masyarakat setempat. Cukuplah banjir yang melanda daerah Jakarta dan sekitarnya yang terjadi beberapa minggu kemarin menjadi ’cambuk’ bagi pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya. Mari bersama kita cegah banjir dengan belajar ….. sadar …… kontribusi ….. konkrit ….. konkrit … dan konkrit ….. sehingga tak ada kata : banjir lagi … banjir lagi ..?!! (Aep Saepudin)

Leave a comment